A. Meninjau awal mula hukum yang sederhana berlaku
Semasa kecil menjelang remaja, ketika orang tua membuat peraturan dirumah contohnya memberikan izin untuk berpergian, orang tua mengatakan “boleh berpergian keluar rumah tapi jangan pulang lama-lama, pukul 21.00 wib sudah sampai rumah ya nak”. Atau “nak belikan gula kg dan teh satu bungkus, ini uangnya Ibu beri 20 ribu (total belanja 18 ribu), sisa uangnya dikembalikan ya”. Namun, terkadang sebagai anak acap kali mengabaikan aturan yang diperintahkan dengan pulang kerumah pukul 22.00 atau 23.00 wib, atau juga tidak mengembalikan sisa uang.
Berangkat dari cerita sederhana itu, peraturan yang diberlakukan kepada anak membuat anak terikat atau Penulis sebut itu dengan aturan dikemas dalam bentuk hukum. Si anak bisa saja melanggarnya, sebab orang tua tidak memberlakukan dan menerapkan aturan dalam bentuk tertulis (written law). Maka, untuk mengetahui dan memahami kapan perbuatan itu dapat dihukum atau berlaku hukuman bagi si anak, tentu hukum positif di Indonesia mengenal adanya Principle of Legality atau disebut dengan Asas Legalitas.
A. Sejarah Principel of Legality
Principle of Legality diciptakan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach berkisar tahun 1775-1833, seorang sarjana hukum pidana berasal dari Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801. Menurut Bambang Poernomo, yang dirumuskan oleh Feuerbach mengandung arti yang sangat mendalam dengan adagiumnya Nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali. Ketiga kalimat ini dikembangkan oleh Feuerbach menjadi adagium nullum delictum, nulla pone sine praevia legi poenali. Pada zaman itu, sebagian besar hukum pidana tidak tertulis, sehingga dengan kekuasaannya yang sangat absolut, raja dapat menyelenggarakan pengadilan dengan sewenang-wenang.
Penduduk tidak mengetahui secara pasti mana perbuatan yang dilarang dan mana yang tidak dilarang. Proses pengadilan berjalan tidak adil karena hukum ditetapkan menurut perasaan hukum dari hakim yang mengadili. Pada saat yang bersamaan muncul para ahli pikir seperti Montesquieu dan JJ. Rousseu yang menuntut agar kekuasaan dibatasi dengan Undang-Undang tertulis. Demikianlah yang terjadi pasca revolusi Perancis, struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara kekuasaaan negara dan individu.
Asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin, maka sangatlah mungkin ada yang beranggapan bahwa rumusan ini berasal dari hukum Romawi Kuno. Sesungguhnya, menurut Prof. Moeljatno, adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum Romawi Kuno. Demikian pula menurut Prof. J. Sahetapy yang mengatakan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa Latin merupakan bahasa “dunia hukum” yang digunakan pada waktu itu.
C. Makna principle of legality
Principle of legality menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHPidana yaitu “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHPidana akan diberlakukan pada tahun 2026 nanti juga menjelaskan bahwa principle of legality yaitu “tidak ada suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Menurut Penulis, Principle of legality itu merupakan prinsip dasar yang dituangkan kedalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk tertulis sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi penegak hukum dalam menetapkan seseorang sebagai orang yang tersalah atau tidak tersalah.
Penulis mengutip buku:
- “Hukum Pidana” oleh Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof, Dr. N. Keijzer, dan Mr. E. PH. Sutorius
- “Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia” oleh Prof. Jan Remellink
- “Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana” oleh Prof. Eddy Hiariej